Oleh: Ghilast
Prast, SH
Untuk
membahas pancasila memang butuh kebesaran hati dan kejujuran untuk saling
terbuka diri terhadap ”fakta dan informasi”tentang pancasila yang telah ditulis
oleh para pelaku sejarah bangsa ini.pancasila memang unik dan controversial
sebab selalu menjadi konsepsi dan alat
politik penguasa, pada hal dari segi wacana sejarah, pancasila lahir sebagai vision
of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (Mochtar Pabottingi
Pengamat Politik LIPI, Republika, 1/2006). Memang tidak mudah membahas
pancasila yang sudah menjadi alat politik tiap-tiap rezim yang berkuasa di
negri ini.
Pancasila
merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan
diwujudkan bangsa Indonesia
saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Visi itu kemudian dituangkan dalam
Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''.
Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara
yang dibangunnya bukanlah negara sekuler. Hal ini bisa kita liat pada halaman
137 pada buku yang kita bedah hari ini. Nilai-nilai ketuhanan ini menjadi
nilai-nilai kehidupan bersama kita.
Hal
ini menjadi topic utama dalam buku Bambang S.Mintargo yang lebih banyak melihat
cara penyelesaian persoalan hidup dengan aspek pemahaman manusia dalam
kehidupannya dan nilai ketuhanan yang
terkandung di dalam pancasila. Dengan memadukannya dari berbagai sumber
pengetahuan yang dilihat dari berbagai sudut pandang (aspek) yaitu; sudut
pandang orang awan, metafisika, hukum alam/tuhan dan sudut pandang pancasila
itu sendiri (liat hal 14), mengulasnya secara khusus di dalam bab V (liat Bab
V,hal 137). Nilai-nilai agama dalam buku ini di titip beratkan hanya pada aspek
spiritual belakah. Tidak pada aspek social, ekonomi, politik dll. Sementara persoalan-persoalan
yang banyak di ungkap dalam buku ini pada sisi ekonomi, politik dan hukum (liat
hal 41). Sementara itu agama selalu membawah muatan ajaran dan saksi. Jadi mengambil
agama hanya pada sisi ketuhanan saja atau dengan kata lain spiritual belaka
akan menimbulkan masalah baru. Di samping itu pancasila tidak memiliki nilai
standar dalam penerapan aturan. Baik itu di bidang politik, ekonomi dan hukum.
Karma pancasila merupakan open idea
(ide terbuka) atau open value (nilai
terbuka) sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 1 Juni 2006.
Pernyataan presiden SBY ini bukan tampa
alasan, pernyataan ini juga perna di sampaikan oleh presiden Soeharto pada
tanggal 10 November 1986 dalam acara pembukaan penataran calon Manggala BP-7
pusat di istana bogor yang kemudian diulanginya ketika menyampaikan pidato
kenegaran pada tanggal 16 agustus 1989, yang kutipanya sebagai berikut:
"itulah sebabnya, beberapa tahun yang lalu saya kemukakan bahwa
pancasila adalah ideologi terbuka, maka kita dalam mengembangkan pemikiran baru
yang segera dan kreatif untuk mengamankan pancasila dalam menjawab perubahan
dan tantangan zaman yang terus bergerak dinamis, nilai-nilai dasar pancasila
tidak boleh berubah, sedang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan
tantangan nyata yang kita hadapi dalam tiap kurung waktu".
Hal
ini sangat memungkinkan ajaran-ajaran atau paham-pahan lain masuk, asalkan
tidak bertentangan dengan pancasila sesuai penilaian penguasah. Jadi nilai-nilai
yang terkandung dalam pasal 29 ayat 1 sama sekali tidak menjelaskan peran agama
di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berakibat secara serius
pada ketidak jelasan konsep Negara.
Pancasila
dalam kontes orde baru dan kekinian
Pancasila
yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia
selama ini sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik.
Dalam konteks bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu
mengaktualisasi Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuatnya.
Sebagian
anggota masyarakat yang menjadi responden jajak pendapat Litbang (penelitian
dan pengembangan) harian Kompas mempertanyakan kemampuan negara dalam
mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap kebijakan yang dihasilkan, terutama
terkait kebijakan negara yang dinilai tidak pro-kesejahteraan sosial, seperti
yang disebut dalam pasal terakhir Pancasila. Ini tercermin dari pendapat
mayoritas responden (79,8 persen) yang menilai pemerintah belum mampu
menunjukkan sikap adil terhadap masyarakat.
Hasil
Jajak Pendapat Kompas, yang diselenggarakan terhadap 860 responden di sepuluh
kota di Indonesia, ini juga menunjukkan, ternyata cukup banyak orang yang lupa
dan tidak hafal isi Pancasila. Saat responden diminta untuk membacakan lima sila dari Pancasila,
sebanyak 90,8 persen hafal sila pertama.
Namun,
saat dilanjutkan pada sila berikutnya, sedikitnya 27,8 persen lupa isi sila
kedua, 23,8 persen lupa sila ketiga, dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila
keempat. Juga, 28,8 persen lupa bunyi sila kelima. Jika hafal saja tidak, sulit
untuk membayangkan warga memahami dan menghayatinya.
Indoktrinasi
Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak
banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih
banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru
selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar
negara ini.
Ritual
peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya yang dilakukan setiap tahun
terus mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde
Baru memaknainya sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia
dalam tragedi 30 September 1965.
Keberhasilan
menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat dan
ABRI saat itu seolah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya
penggeserannya sebagai dasar negara. Karena di hari setelah peristiwa G30S/PKI,
1 Oktober atau titik awal periode Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Peringatan ini gaungnya lebih kuat ketimbang peringatan atas hari
lahirnya Pancasila.
Orde
Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan
secara komprehensif lewat pendidikan.
Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik
politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi
yang dilakukan secara represif di
tataran pendidikan mengarah pada pengkultusan
Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti
pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar
hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan
tinggi.
Rezim
Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya penunggalan
interpretasi juga dilakukan oleh negara terhadap seluruh warga negara tanpa
kecuali. Setiap organisasi massa
dalam bentuk apa pun, termasuk organisasi keagamaan, wajib menjadikan Pancasila
sebagai asas institusi mereka. Cap anti-Pancasila diberikan kepada mereka yang
menolak asas tunggal Pancasila. Langkah ini dipercaya sebagai upaya memelihara
Pancasila agar tetap sakti.
Mayoritas
responden dalam jajak pendapat ini sepakat, sebagai identitas bangsa, Pancasila
tetap menjadi landasan terbaik berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden
(96,6 persen) menyatakan, Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar
negara. Sebanyak 92,1 persen menegaskan, Pancasila sebagai landasan terbaik
untuk bangsa ini.
Meski
demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah
menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Ini sangat mungkin dipicu
oleh keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini.
”Bukan
rakyat yang seharusnya dituntut memahami dan menghayati Pancasila, melainkan
pemerintah yang dicerminkan lewat kebijakan yang dibuatnya,” kata Suzan (32),
seorang responden asal Jakarta.
Warga
Jakarta itu berpendapat, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan dari segala
proses pembuatan kebijakan belum terlihat aktualisasinya. ”Bukankah dalam membuat
kebijakan pemerintah harus sesuai dengan isi Pancasila? Lalu, kenapa banyak
kebijakan negara yang sangat jelas tidak pro-keadilan sosial seperti disebut
dalam Pancasila itu?” tanya Suzan.
Suara
Suzan mewakili 74,5 persen dari 860 responden lain yang menyatakan, pemerintah
belum mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Pancasila
memang lebih banyak dipahami sebatas konsepsi politik. Pancasila lebih banyak
digunakan sebagai jargon yang bias
makna jika dihadapkan pada realitas sosial yang ada.
Pancasila
sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu
bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan
negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui
kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi
Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang
substansinya belum mampu diwujudkan secara riil.
(Litbang Kompas; kompas online; Selasa, 30 September 2008 03:00 WIB)
Ideologi atau bukan?
Pasca runtuhnya Orde Baru,
gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang
Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi
atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan
Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para
founding fathers saat mendirikan
negara ini.
Dalam defenisi ideologi itu
sendiri berarti ajaran, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini kebenarannya, yang tersusun
secara sistematis yang dapat dijadikan petunjuk dalam menanggapi dan
menyelesaikan masalah yang timbul dalam kehidupan bermaysarakat, berbangsa dan
bernegara (lihat buku Pendidikan Pancasila mata kuliah fakultas hukum, Universitas
Indonesia Timur, Makassar 2006, hal.15). Dalam kamus populer ilmiah, ideologi
adalah suatu teori dari ide-ide,
kelompok atau kumpulan ide-ide yang teratur atau sistematis yang dijadikan
sebagai asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan, baik dalam bidang
social, politik, dan ekonomi, maupun hukum, untuk kelangsungan hidup, yang
berbentuk suatu pandangan hidup. Menurut Dr.M.Kausar Bailusy.MA, ideologi
merupakan ide-ide atau hasil pemikiran yang sistematis yang dirumuskan untuk
teori politik atau ekonomi, (lihat Dr.M.Kausar Bailusy.MA, Pengaruh Berbagai
Ideologi Terhadap Perjalanan Sejarah Indonesia, 2006). Jadi secara teoritis
atau secara normatif dapat kita
pahami bahwasanya ideologi merupakan sebuah paket sistem yang terdiri atas
sekumpulan ide-ide serta gagasan yang dijadikan arahan dan landasan dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Onghokham adalah salah satu
tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah
atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara
baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara
sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan
dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of
Right di Amerika Serikat, atau Droit
de l’homme di Perancis (Kompas, 6/12/2001). Senada dengan itu Pengamat
Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah
ideologi negara, melainkan vision of
state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6).
Menanggapi
persoalan hidup berdasarkan pancasila
Di
dalam setiap peradaban, baik peradaban klasik/kuno maupun modern seperti yang
ada saat ini. setiap negara baik negara industri maupun negara miskin
dipastikan memiliki asas, konstitusi atau UUD. Hal ini diperlukan sebagai dasar
berdirinya Negara dan masyarakat tersebut; sebagai landasan mengatur Negara dan
masyarakat; sebagai patokan untuk menyusun dan membuat rencana perjalanan
Negara tersebut; bahkan sebagai sebuah 'aturan' yang harus dijunjung tinggi, dibenarkan,
ditaati dan dijalankan oleh setiap lapisan masyarakat. Konstitusi dijadikan
sebagai dalil, argument, pertimbangan dan berbagai bentuk alasan untuk
melegalkan suatu keputusan yang mengikat warga negara/rakyat. Tidak hanya itu,
konstitusi juga berfungsi untuk menghukum atau memberi sanksi seseorang (sampai
hukum mati sekalipun) serta untuk menentukan baik-buruk, layak-tidak layak, dan
pelanggaran atau kepatuhan. Segala macam peraturan dan undang-undang yang hierarkinya berada di bawah konstitusi
pun harus menyesuaikan diri dengan butir-butir yang tercantum di dalam
konstitusi. Singkatnya, konstitusilah yang mengatur seluruh aspek kehidupan
masyarakat; baik orang perorangan, kelompok, maupun lembaga-lembaga pemerintah
dan penguasa. Karena itu, dapat dibayangkan, betapa hebatnya pengaruh
konstitusi dan perundang-undangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebab,
seluruh aktivitas hidup manusia, masyarakat dan negara ditentukan oleh
konstitusi.
Dari
paparan di atas, jelaslah bahwa konstitusi negara haruslah menjadi pijakan yang
kuat dalam mendirikan bangunan sistem-sistim yang akan lahir di atasnya.bagaimana
dengan pancasila? Mampukah pancasila menjadi pijakan yang kuat? Sejalankah sistem-sistem
yang berdiri diatasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pembahasan dalam
diskusi bedah buku kita hari ini yang di laksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Elektro
Politeknik
Negeri Ujung Pandang.
Salam…………
Daftar
bacaan
·
Bambang
S.Mintargo. Menanggapi persoalan hidup berdasarkan pancasila,mitra wacana
media.jakarta.2009
·
Ensiklopedia
pupuler politik pembangunan pancasila.edisi ke 5 yayasan cipta loka caraka,Jakarta
·
Miriam
budiardjo,prof. dasar-dasar ilmu politik,gramedia.jakarta.1977
·
Soetomo,SH. Ilmu
Negara.usaha nasional. Surabaya.1993
·
Kusmiaty,DRA.Sulhi,DRS.tata
Negara berdasarkan kurikulum GBPP 1994 untuk SMU kelas 3.bumi
aksara.jakarta.2000
·
Tim pengajar mata
kuliah pendidikan pancasila.diktat pendidikan pancasila.universitas Indonesia
timur.makassar.2001
·
Tim prima pena.kamus ilmiah popular edisi
lengkap.gitamedia press.surabaya.2006
·
Hafidz shalih.
Falsafah kebangkitan dari ide hingga metode.idea pustaka utama.bogor.2003
·
Harian Kompas,
6/12/2001
·
Republika, 1/2006
·
Litbang Kompas;
kompas online; Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar