Jumat, 14 Juni 2013

MEMANDANG PANCASILA SECARA ADIL DAN RASIONALISTIS




Oleh: Ghilast Prast, SH

                Untuk membahas pancasila memang butuh kebesaran hati dan kejujuran untuk saling terbuka diri terhadap ”fakta dan informasi”tentang pancasila yang telah ditulis oleh para pelaku sejarah bangsa ini.pancasila memang unik dan controversial sebab selalu menjadi  konsepsi dan alat politik penguasa, pada hal dari segi wacana sejarah, pancasila lahir sebagai  vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (Mochtar Pabottingi Pengamat Politik LIPI, Republika, 1/2006). Memang tidak mudah membahas pancasila yang sudah menjadi alat politik tiap-tiap rezim yang berkuasa di negri ini.

                Pancasila merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang dibangunnya bukanlah negara sekuler. Hal ini bisa kita liat pada halaman 137 pada buku yang kita bedah hari ini. Nilai-nilai ketuhanan ini menjadi nilai-nilai kehidupan bersama kita.

                Hal ini menjadi topic utama dalam buku Bambang S.Mintargo yang lebih banyak melihat cara penyelesaian persoalan hidup dengan aspek pemahaman manusia dalam kehidupannya dan  nilai ketuhanan yang terkandung di dalam pancasila. Dengan memadukannya dari berbagai sumber pengetahuan yang dilihat dari berbagai sudut pandang (aspek) yaitu; sudut pandang orang awan, metafisika, hukum alam/tuhan dan sudut pandang pancasila itu sendiri (liat hal 14), mengulasnya secara khusus di dalam bab V (liat Bab V,hal 137). Nilai-nilai agama dalam buku ini di titip beratkan hanya pada aspek spiritual belakah. Tidak pada aspek social, ekonomi, politik dll. Sementara persoalan-persoalan yang banyak di ungkap dalam buku ini pada sisi ekonomi, politik dan hukum (liat hal 41). Sementara itu agama selalu membawah muatan ajaran dan saksi. Jadi mengambil agama hanya pada sisi ketuhanan saja atau dengan kata lain spiritual belaka akan menimbulkan masalah baru. Di samping itu pancasila tidak memiliki nilai standar dalam penerapan aturan. Baik itu di bidang politik, ekonomi dan hukum. Karma pancasila merupakan open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka) sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 1 Juni 2006. Pernyataan presiden SBY ini bukan  tampa alasan, pernyataan ini juga perna di sampaikan oleh presiden Soeharto pada tanggal 10 November 1986 dalam acara pembukaan penataran calon Manggala BP-7 pusat di istana bogor yang kemudian diulanginya ketika menyampaikan pidato kenegaran pada tanggal 16 agustus 1989, yang kutipanya sebagai berikut:

"itulah sebabnya, beberapa tahun yang lalu saya kemukakan bahwa pancasila adalah ideologi terbuka, maka kita dalam mengembangkan pemikiran baru yang segera dan kreatif untuk mengamankan pancasila dalam menjawab perubahan dan tantangan zaman yang terus bergerak dinamis, nilai-nilai dasar pancasila tidak boleh berubah, sedang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang kita hadapi dalam tiap kurung waktu".

                Hal ini sangat memungkinkan ajaran-ajaran atau paham-pahan lain masuk, asalkan tidak bertentangan dengan pancasila sesuai penilaian penguasah. Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam pasal 29 ayat 1 sama sekali tidak menjelaskan peran agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berakibat secara serius pada ketidak jelasan konsep Negara.

Pancasila dalam kontes orde baru dan kekinian

                Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia selama ini sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik. Dalam konteks bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu mengaktualisasi Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuatnya.
               
                Sebagian anggota masyarakat yang menjadi responden jajak pendapat Litbang (penelitian dan pengembangan) harian Kompas mempertanyakan kemampuan negara dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap kebijakan yang dihasilkan, terutama terkait kebijakan negara yang dinilai tidak pro-kesejahteraan sosial, seperti yang disebut dalam pasal terakhir Pancasila. Ini tercermin dari pendapat mayoritas responden (79,8 persen) yang menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil terhadap masyarakat.

                Hasil Jajak Pendapat Kompas, yang diselenggarakan terhadap 860 responden di sepuluh kota di Indonesia, ini juga menunjukkan, ternyata cukup banyak orang yang lupa dan tidak hafal isi Pancasila. Saat responden diminta untuk membacakan lima sila dari Pancasila, sebanyak 90,8 persen hafal sila pertama.

                Namun, saat dilanjutkan pada sila berikutnya, sedikitnya 27,8 persen lupa isi sila kedua, 23,8 persen lupa sila ketiga, dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila keempat. Juga, 28,8 persen lupa bunyi sila kelima. Jika hafal saja tidak, sulit untuk membayangkan warga memahami dan menghayatinya.

                Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini.
                Ritual peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya yang dilakukan setiap tahun terus mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde Baru memaknainya sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia dalam tragedi 30 September 1965.

                Keberhasilan menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat dan ABRI saat itu seolah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya penggeserannya sebagai dasar negara. Karena di hari setelah peristiwa G30S/PKI, 1 Oktober atau titik awal periode Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini gaungnya lebih kuat ketimbang peringatan atas hari lahirnya Pancasila.

                Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

                Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tataran pendidikan mengarah pada pengkultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi.

                Rezim Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya penunggalan interpretasi juga dilakukan oleh negara terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali. Setiap organisasi massa dalam bentuk apa pun, termasuk organisasi keagamaan, wajib menjadikan Pancasila sebagai asas institusi mereka. Cap anti-Pancasila diberikan kepada mereka yang menolak asas tunggal Pancasila. Langkah ini dipercaya sebagai upaya memelihara Pancasila agar tetap sakti.

                Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini sepakat, sebagai identitas bangsa, Pancasila tetap menjadi landasan terbaik berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden (96,6 persen) menyatakan, Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara. Sebanyak 92,1 persen menegaskan, Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa ini.

                Meski demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Ini sangat mungkin dipicu oleh keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini.

                ”Bukan rakyat yang seharusnya dituntut memahami dan menghayati Pancasila, melainkan pemerintah yang dicerminkan lewat kebijakan yang dibuatnya,” kata Suzan (32), seorang responden asal Jakarta.

                Warga Jakarta itu berpendapat, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan dari segala proses pembuatan kebijakan belum terlihat aktualisasinya. ”Bukankah dalam membuat kebijakan pemerintah harus sesuai dengan isi Pancasila? Lalu, kenapa banyak kebijakan negara yang sangat jelas tidak pro-keadilan sosial seperti disebut dalam Pancasila itu?” tanya Suzan.

                Suara Suzan mewakili 74,5 persen dari 860 responden lain yang menyatakan, pemerintah belum mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Pancasila memang lebih banyak dipahami sebatas konsepsi politik. Pancasila lebih banyak digunakan sebagai jargon yang bias makna jika dihadapkan pada realitas sosial yang ada.

                Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. (Litbang Kompas; kompas online; Selasa, 30 September 2008 03:00 WIB)
Ideologi atau bukan?
                Pasca runtuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.   
                Dalam defenisi ideologi itu sendiri berarti ajaran, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini kebenarannya, yang tersusun secara sistematis yang dapat dijadikan petunjuk dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang timbul dalam kehidupan bermaysarakat, berbangsa dan bernegara (lihat buku Pendidikan Pancasila mata kuliah fakultas hukum, Universitas Indonesia Timur, Makassar 2006, hal.15). Dalam kamus populer ilmiah, ideologi adalah  suatu teori dari ide-ide, kelompok atau kumpulan ide-ide yang teratur atau sistematis yang dijadikan sebagai asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan, baik dalam bidang social, politik, dan ekonomi, maupun hukum, untuk kelangsungan hidup, yang berbentuk suatu pandangan hidup. Menurut Dr.M.Kausar Bailusy.MA, ideologi merupakan ide-ide atau hasil pemikiran yang sistematis yang dirumuskan untuk teori politik atau ekonomi, (lihat Dr.M.Kausar Bailusy.MA, Pengaruh Berbagai Ideologi Terhadap Perjalanan Sejarah Indonesia, 2006). Jadi secara teoritis atau secara normatif dapat kita pahami bahwasanya ideologi merupakan sebuah paket sistem yang terdiri atas sekumpulan ide-ide serta gagasan yang dijadikan arahan dan landasan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
                Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Kompas, 6/12/2001). Senada dengan itu Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6).
Menanggapi persoalan hidup berdasarkan pancasila

                Di dalam setiap peradaban, baik peradaban klasik/kuno maupun modern seperti yang ada saat ini. setiap negara baik negara industri maupun negara miskin dipastikan memiliki asas, konstitusi atau UUD. Hal ini diperlukan sebagai dasar berdirinya Negara dan masyarakat tersebut; sebagai landasan mengatur Negara dan masyarakat; sebagai patokan untuk menyusun dan membuat rencana perjalanan Negara tersebut; bahkan sebagai sebuah 'aturan' yang harus dijunjung tinggi, dibenarkan, ditaati dan dijalankan oleh setiap lapisan masyarakat. Konstitusi dijadikan sebagai dalil, argument, pertimbangan dan berbagai bentuk alasan untuk melegalkan suatu keputusan yang mengikat warga negara/rakyat. Tidak hanya itu, konstitusi juga berfungsi untuk menghukum atau memberi sanksi seseorang (sampai hukum mati sekalipun) serta untuk menentukan baik-buruk, layak-tidak layak, dan pelanggaran atau kepatuhan. Segala macam peraturan dan undang-undang yang hierarkinya berada di bawah konstitusi pun harus menyesuaikan diri dengan butir-butir yang tercantum di dalam konstitusi. Singkatnya, konstitusilah yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat; baik orang perorangan, kelompok, maupun lembaga-lembaga pemerintah dan penguasa. Karena itu, dapat dibayangkan, betapa hebatnya pengaruh konstitusi dan perundang-undangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebab, seluruh aktivitas hidup manusia, masyarakat dan negara ditentukan oleh konstitusi.

                Dari paparan di atas, jelaslah bahwa konstitusi negara haruslah menjadi pijakan yang kuat dalam mendirikan bangunan sistem-sistim yang akan lahir di atasnya.bagaimana dengan pancasila? Mampukah pancasila menjadi pijakan yang kuat? Sejalankah sistem-sistem yang berdiri diatasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pembahasan dalam diskusi bedah buku kita hari ini yang di laksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Elektro Politeknik Negeri Ujung Pandang.

Salam…………


Daftar bacaan
·         Bambang S.Mintargo. Menanggapi persoalan hidup berdasarkan pancasila,mitra wacana media.jakarta.2009
·         Ensiklopedia pupuler politik pembangunan pancasila.edisi ke 5 yayasan cipta loka caraka,Jakarta
·         Miriam budiardjo,prof. dasar-dasar ilmu politik,gramedia.jakarta.1977
·         Soetomo,SH. Ilmu Negara.usaha nasional. Surabaya.1993
·         Kusmiaty,DRA.Sulhi,DRS.tata Negara berdasarkan kurikulum GBPP 1994 untuk SMU kelas 3.bumi aksara.jakarta.2000
·         Tim pengajar mata kuliah pendidikan pancasila.diktat pendidikan pancasila.universitas Indonesia timur.makassar.2001
·          Tim prima pena.kamus ilmiah popular edisi lengkap.gitamedia press.surabaya.2006
·         Hafidz shalih. Falsafah kebangkitan dari ide hingga metode.idea pustaka utama.bogor.2003
·         Harian Kompas, 6/12/2001
·         Republika, 1/2006
·         Litbang Kompas; kompas online; Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar